18 Juli 2008

Mengenali (Lagi) Teater

Sebuah ruang kosong. Seseorang melintas. Seseorang lainnya menonton. Sebuah teater terjadi. Demikian pendapat Peter Brook dalam bukunya yang terkenal, Empty Space. Ini adalah suatu kemungkinan yang dirumuskan Brook tentang terciptanya peristiwa teater. Jika ditelusuri secara mendalam, ini adalah definisi yang kompleks. Namun demikian dapat disederhanakan bahwa syarat untuk terjadinya sebuah peristiwa teater adalah ruang, kejadian dalam ruang itu dan penonton.

Pengertian ruang yang dimaksud di atas bukanlah sebagaimana yang dimaksud bahasa Inggris sebagai “room”, namun pada pengertian lebih luas lagi yaitu “space”. Bukan berarti bahwa room bukanlah ruang. Room adalah juga ruang, namun lebih dalam pengertian sempit. Pendek kata, room hanya salah satu jenis ruang. Misal, dinning room adalah ruang untuk makan, bathroom untuk mandi. Definisi ruang secara lebih luas adalah tempat beradanya sesuatu sehingga sesuatu itu menjadi mengada.

Ruang kosong adalah ruang yang tidak atau belum berisi sesuatu. Ketika sesuatu masuk ke ruang kosong ini, maka sesuatu itu pun mengada, seperti yang terjadi pada orang yang melintas di atas. Orang itu mengada di sana dan sebuah kejadian sederhana mengada pula. Semuanya menciptakan peristiwa.

Namun sebagaimana segala sesuatunya yang ada di dunia ini – terutama yang berada dalam kendali manusia – tidak pernah puas dengan bentuk yang sederhana dan selalu ada keinginan manusia untuk mengembangkannya, seiring dengan tuntutan kehidupan yang semakin kompleks. Sebagaimana teknologi roda yang demikian sederhana ketika pertama kali penemuannya, hingga kemudian ditemukan berbagai variasi dan kecanggihan teknologi roda seperti yang kita dapati sekarang, demikian pula teater. Kreativitas – baik yang termasuk dalam laku agama, ritual, sosial serta murni seni – membuatnya terus berkembang, menjelajahi bentuk demi bentuk, tempat demi tempat, waktu demi waktu. Sepanjang perjalanan sejarah itu, apa yang dirumuskan oleh Brook di atas tetap ada, sehingga ia dapat dikatakan sebagai sebuah rumusan yang universal.

Semesta, Kehidupan dan Peristiwa Teater
Suatu pentas teater – sekali lagi – pada dasarnya adalah peristiwa. Dia setara dengan peristiwa keseharian yang terjadi pada manusia, binatang, tumbuhan, bahkan pergerakan dan peredaran alam semesta yang maha luas ini. Bedanya dengan berbagai peristiwa itu, teater adalah peristiwa yang terancang, terencana, tertata, terseleksi, tersusun oleh manusia dengan daya kreatifnya. Jika kita andaikan peristiwa keseharian adalah peristiwa yang “liar”, maka teater adalah peristiwa yang “terpelihara”.

Peristiwa teater memiliki sifat yang langsung, here and now, bukan dialami atau disaksikan melalui recording ataupun live dalam siaran televisi. Dalam peristiwa langsung ini, dapat dibedakan dua macam peristiwa yang terjadi. Pertama adalah peristiwa di atas panggung, pertunjukannya, dan yang kedua adalah peristiwa penonton. Jadi ada peristiwa ditonton dan menonton. Peristiwa pertunjukan dibangun oleh kompleksitas berbagai elemen pembangun teater: pemain, skeneri, tata cahaya, tata suara, cerita, aksi, narasi dan sebagainya. Peristiwa di bangku penonton lebih didominasi oleh aksi-aksi kecil: desahan napas penonton, suara batuk, tertawa, bisikan, tolehan, kedipan mata, atau gerakan-gerakan kecil dari anggota tubuh penonton lainnya.

Ada pula yang merumuskan – atau lebih tepatnya mengandaikan – teater sebagai a slice of life, seiris kehidupan. Ini lahir dari pemahaman bahwa teater adalah suatu peristiwa kehidupan, namun “tidak utuh”. Peristiwa yang tidak utuh ini merupakan suatu “irisan” dari kehidupan yang utuh, kehidupan keseharian yang luas dan lebih kompleks lagi. Proses pengirisan inilah yang merupakan tugas dari para pekerja teater. Mereka harus mempu melakukan pengirisan pada bagian yang tepat sehingga ketika ia tersaji di atas panggung sebagai sebuah peristiwa teater, ia paling tidak mewakili kehidupan keseharian atau memunculkan sisi-sisi tertentu dari kehidupan yang memberikan pesan-pesan tertentu pula pada penonton.

Sering pula ada yang menyebut kehidupan itu sendiri sudah merupakan teater. Tentu penalaran semacam ini dapat dirunut dari rumusan tentang peristiwa teater di atas, termasuk apa yang dirumuskan oleh Brook. Kehidupan memang memiliki dimensi teaterikal, namun kadar tersebut tidaklah merata dalam setiap peristiwa. Beberapa peristiwa memiliki kadar teaterikal yang tinggi, demikian sebaliknya. Namun ukuran ketinggian ini bukanlah sesuatu mutlak, sebab dlam hal ini terdapat banyak sekali “alat pengukur” yang hasil dari masing-masingnya dalam mengukur peristiwa yang sama adalah berbeda.

Teater akan selalu hidup dalam relativitas-relativitas yang tidak akan pernah melepaskan cengkramannya. Teater pula akan tetap hidup semasih adanya ruang di semesta ini, bahkan ketika kiamat sekalipun, karena masih ada ruang kosong semesta yang dilintasi oleh kekosongan demi kekosongan.
Ibed Surgana Yuga
(Kolom "Bali Diaspora" Independen News, edisi 112 - 2008)

Laku Teater dalam Laku Budaya Manusia Bali

Fenomena Parekan: Sebuah Pemberontakan Kreatif?
Masyarakat Bali, dijamin terpingkal-pingkal saat menonton adegan dan menyimak dialog antara Punta dan Wijil dalam pementasan kesenian Arja, atau dialog antara dua parekan (punakawan) ini dengan Mantri Buduh-nya. Di tengah-tengah dialog kocak yang sebagiannya disisipi perilaku serta kalimat-kalimat “kurang ajar” terutama dari Punta dan Wijil kepada sang raja (Mantri Buduh), penonton tanpa sadar hanyut dalam eforia karikatural seputar perilaku yang terjadi dalam lingkungan kekuasaan (puri/istana). Demikian pula dalam pementasan Bondres, para penonton (masyarakat Bali) tak akan bisa menahan tawa menyaksikan berbagai karakter konyol yang divisualisasikan oleh para pemain di dalam kalangan (panggung pementasan).

Lelucon Punta – Wijil – Mantri Buduh dalam kesenian Arja, atau Sangut – Delem – Merdah – Tualen dalam Wayang Kulit, kemudian adegan-adegan karikatural dalam Bondres serta lawakan para pematah dalam Drama Gong, seakan dengan sengaja mengajak penonton menyaksikan sebagian besar “sisi negatif” karakter dari kehidupan dirinya sendiri, komunitasnya sendiri, serta perilaku dan kehidupan para penguasa. Secara eksplisit dapat ditangkap sebagai pemaparan berbagai ketimpangan perilaku kaum elit yang terjadi di lingkungan kekuasaan yang bagi masyarakat tradisional nyaris mustahil untuk membicarakannya di tempat-tempat umum semacam warung kopi atau bale banjar. Perilaku raja atau patih yang korup, pangeran yang bermental preman, patih atau punggawa penjilat, semua digambarkan dalam serangkaian parodi yang membuat penonton tertawa, bersorak mengejek, memisuh tanpa merasa takut akan dihukum oleh penguasa.

Fenomena dan sedikit ilustrasi di atas – sebagai sekedar contoh dari sekian ragam seni teater tradisional Bali, – kiranya cukup menjadi bahan untuk mencermati sebuah “fenomena lain” yang sesungguhnya terjadi dalam teater tradisonal Bali. Secara umum, baiklah, bahwa kesenian Bali tersebut diciptakan oleh pelaku (masyarakatnya) mula-mula sebagai persembahan kepada apa atau siapapun yang dinilainya layak untuk tujuan itu. Namun akhirnya fenomena parekan/punakawan yang ada atau diadakan dalam hampir setiap teater tradisional tersebut tidaklah dapat dipandang semata-mata hanya sebagai elemen pelengkap – entah kemudian disebut sebagai “pemanis" atau apa – yang tugasnya hanya untuk memberi kesempatan penonton menarik napas atau mengendurkan ketegangan di antara runutan cerita yang dibangun dan disajikan di atas panggung. Fenomena parekan tersebut layak dicermati sebagai sesuatu yang sengaja diciptakan oleh para penggiat dan pelaku teater tradisional Bali untuk sesuatu kepentingan atau tujuan lain yang bisa saja tidak berani mereka ungkap secara vulgar dalam keseharian di luar panggung.

Amatlah menarik, kenapa para parekan yang diciptakan tersebut justru dengan sengaja diberi kebebasan ekspresi di tengah-tengah keseriusan bahkan kesakralan teks atau cerita yang tengah dipentaskan. Sementara sebagaimana telah disinggung tadi, bahwa di tengah hegemoni (budaya dan politik) penguasa sejak jaman kerajaan, masyarakat (rakyat kecil) Bali terlanjur merelakan dirinya menjadi manusia-manusia yang “santun”; metilesang raga, terlebih-lebih kemudian mereka dikungkung oleh sebuah pemahaman yang disempitkan atas tatanan sosial yang di dalamnya terdapat istilah leteh dan tulah. Sejak awal, individu-individu manusia Bali diikat oleh ketakutan yang berlebihan dalam proses kehidupan sosial-budaya dan sosial-politiknya yang bergantung pada adat tradisi, di mana adat dan tradisi ini sejak awal pula tumbuh (ditumbuhkan) dari kepentingan untuk menjaga kewibawaan serta kesakralan kalangan penguasa (istana/puri) berikut lingkungannya.

Dalam konteks inilah kemudian masyarakat Bali menemukan serta menempatkan kesenian (teater) sebagai media ekspresi pelepasan emosi sekaligus perlawanan yang segera saya garisbawahi sebagai sebuah pemberontakan, pemberontakan kreatif. Penambahan kata “kreatif” di sini tentu saja karena pemberontakan yang dimaksud tidak diwujudkan secara pisik, tetapi dalam bentuk wacana dan idiom-idiom yang diolah dan dikemas sedemikian rupa sehingga seolah-olah “hanyalah” bagian dari tontonan atau kesenian.

Di bagian ini, sadar atau tidak, ternyata teater dalam kehidupan estetik masyarakat Bali kembali pada fitrahnya: ia menjadi ekspresi dari keberadaan sentral manusia di atas bumi dan kehidupan yang di antaranya terdapat: kebebasan, kemerdekaan diri.

Abstraksi Aktualisasi Diri
Secara umum, saya setuju bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan paham yang berarti mengenai posisi dan peran seni teater sejak masa pertama ia (teater) dipercaya ada. Teater pada waktu-waktu awal telah menjadi kegiatan selebrasi dari masyarakat pemiliknya, bahkan konon telah mendapatkan fungsinya yang penting sebagai salah satu agen evolusi sosial. Malah kadang secara langsung ia menjadi cermin atau refleksi perubahan-perubahan sosial dan politik.
Jika berbicara tentang teater (di) atau sekaligus (atas) masyarakat Bali, pendapat di atas pun menemukan relevansinya. Dan, hal ini akan semakin lebih terasa terutama untuk “masyarakat Bali kini” – (baca: generasi muda) yang cenderung mulai bergeser menyukai sekaligus bergiat dalam seni teater modern di tengah-tengah konteks kekinian, di mana Bali dengan masyarakatnya mau tak mau harus pula larut dalam anasir-anasir global yang tak mungkin dibendung, di mana dengan besar hati pula harus diakui bahwa teater tradisional Bali (“kian menampilkan wajah yang cukup mengenaskan; jika tidak musnah, ia terpinggirkan secara ekstrim, atau tampil hampir tanpa etos dan vitalitas kreatif sama sekali – Radhar Panca Dahana).

Memang, mula-mula nyaris tak ada argumen berbeda yang dapat didengar dari para pelaku dan penggiat seni teater tradisional maupun teater modern Bali. Mula-mula, para pelaku dan penggiat teater tersebut senantiasa dan nyaris dengan bahasa seragam mengatakan bahwa mereka berkarya semata-mata sebagai ibadah atau persembahan. Ibadah kepada kelahiran dan kehidupan atau lingkungan sosial. Persembahan kepada Yang Masa Esa yang telah memberikan hidup dan kehidupan serta kesenian itu sendiri. Hampir tak ada orang Bali (yang bergiat pada kesenian tradisi maupun modern) yang dengan tegas dan lugas mengatakan bahwa karya mereka merupakan alat protes sosial atau alat perjuangan untuk tujuan tertentu yang lebih bersifat kontekstual (duniawi).

Sampai di bagian ini, teater dalam konteks berkesenian masyarakat Bali sepintas masih kukuh pada posisi pentingnya sebagai proses transendensial yang mengacu pada “Bali yang surga”. Akan tetapi ketika kita masuk lebih jauh ke dalam fakta-fakta visualisasi karya-karya mereka, tidaklah mengagetkan jika yang tersirat justru sebuah proses perlawanan yang begitu dahsyat. Dari penggugatan terhadap kungkungan adat dan tradisi, perlawanan terhadap pakem-pakem kesenian yang selama ini dirasa membelanggu, protes-protes atas fenomena sosial-politik yang ada, bahkan tidak sedikit yang merupakan visualisasi “pengingkaran” (penafsiran serta penyikapan baru) terhadap pemahaman spritual yang sebelumnya begitu disakralkan dan dihormati.

Untuk menyebut beberapa contoh, pementasan-pementasan teater Cokorda Istri Savitri hingga saat ini nyaris semuanya menggugat secara terang-terangan dan berani prihal “diskriminasi” gender dalam lingkungan sosial masyarakat Bali. Seni Pertunjukan Nyoman Erawan begitu kuat merefleksikan gugatan dan pengingkaran terhadap pakem-pakem tradisi maupun konvensi yang selama ini dikenal dan dianut masyarakat Bali. (Pertunjukan) seni instalasi Made Wianta justru mereposisi banyak simbol-simbol sakral atau ikon-ikon tradisional masyarakat Bali. Teater-teater garapan Putu Satria Kusuma senantiasa merupakan media protes atas fenomena timpang sosial-politik yang sedang terjadi. Atau Bali Eksperimental Teater, secara ekstrim mengingkari konvensi-konvensi teater sekaligus menggugat fenomena sosial-politik-budaya-spiritual yang terjadi.

Demikian pula halnya dengan kebangkitan teater-teater anak kampus di Denpasar yang tiga tahun belakangan ini bersemangat kembali. Teater Orok dan Teater Got yang dimotori para mahasiswa beberapa kampus (fakultas) di Denpasar, di samping mengusung teater sebagai bagian kreatifitas seni, tampak pula upaya-upaya pengaktualisasian diri mereka di tengah-tengah fenomena sosial melalui eksplorasi-eksplorasi, refleksi hingga eksperimentasi atas realitas yang terjadi di sekitarnya.

Memang, hanya dengan menunjuk atau merujuk fakta serta fenomena yang dilakukan oleh segelintir penggiat tersebut, saya pun belumlah berani memberi harga mati untuk kemudian menyimpulkan teater bagi masyarakat Bali adalah sebagai sesuatu yang sebut saja misalnya “alat perjuangan” atau “media pemberontakan”. Masih harus dilakukan pengkajian lebih mendalam dan melibatkan banyak aspek pendukung maupun yang di luarnya. Tapi bagaimanapun juga, fakta-fakta yang menunjuk ke arah tersebut adalah memang ada dalam tubuh teater di Bali, baik yang tradisional maupun yang modern. Pun fakta-fakta serta fenomena tersebut, terutama dalam teater modern, telah bergeser ke dalam wilayah yang lebih luas bahkan abstrak. Sementara dalam teater tradisional siratan-siratan protes atau pemberontakannya lebih kepada hal-hal yang kasat mata atau kontekstual.

Tetapi bagaimana pun juga, dalam wilayah dialog ini saya harus segera menentukan posisi untuk argumen ini. Dengan besar hati saya akan mengatakan, sampai sejauh ini teater dalam konteks berkesenian masyarakat Bali adalah (juga) sebagai media aktualisasi diri. Masyarakat Bali, sebagai individu sekaligus sebagai bagian dari warga kehidupan, tentu memerlukan sebuah media untuk menyatakan dirinya, memerlukan wilayah untuk menunjukan posisinya terhadap apa yang ada dan terjadi di sekelilingnya, entah itu wilayah sosial, politik, spiritualitas hingga kesenian itu sendiri. Seandainya kemudian ini disebut sebagai alat pemberontakan, ya, silahkan saja.***

Negara, Oktober 2004
Nanoq da Kansas