Oleh: Ibed Surgana Yuga
Teater adalah manusia itu sendiri. Ia bukan hanya media atau bentuk ekspresi bagi kebebasan dan eksistensi diri manusia. Bukan pula sekadar wadah untuk tumpahan tetek-bengek kegelisahan. Biasanya ketika di tahap awal, memang ada suatu pemahaman bahwa suatu mahluk yang bernama pribadi manusia memasuki dunia teater guna mengekspresikan kegelisahan serta kreativitas tentang kebebasan serta eksistensi dirinya. Namun sebenarnya lebih dari itu. Dalam teater, disadari atau tidak, pribadi manusia yang merupakan “manusia-kosong”, yang serupa wadah dalam keadaan kosong, sebenarnya tengah mencari sesuatu untuk mengisi kekosongan itu: dirinya sendiri – untuk menjadi manusia yang utuh. Maka, teaterlah eksistensi dirinya itu. Teaterlah dirinya.
Apa jadinya jika dalam dunia teater itu manusia-kosong tidak menemukan dirinya? Apa jadinya jika yang ditemukan adalah “diri-diri-lain” yang tidak sesuai dengan wadah-kosong yang dimilikinya? Bagaimana pula jika diri-diri-lain dipaksakan dengan represi untuk masuk ke dalam wadah-kosong miliknya itu? Jawabannya: tetap saja kekosongan itu yang ada! Manusia-kosong yang diisi dengan diri-lain adalah sama dengan kosong. Pribadi itu tetap saja gamang dalam kekosongan, tersiksa dalam jerat diri-lain. Sebab kekosongan adalah penjara belaka.
Maka, teater adalah penjara!
* * *
Diri-diri-lain adalah mereka yang datang dari luar, juga dari dalam, tubuh teater. Dari luar, kekuatan-kekuatan sosial-politik menjelma diri-diri-lain, menjadi semacam virus, mengaduk-aduk tubuh teater, termasuk manusia-kosong di dalamnya – bahkan mungkin yang telah berisi sekali pun. Demikian pula diri-diri, organ-organ, yang telah menjadi “milik sah”, menjadi bagian, dari tubuh kompleks teater. Tanpa disadari, banyak dari mereka yang menciptakan suasana mencekam, ketersekapan, bagi pribadi manusia lainnya dalam teater. Mereka memiliki kekuatan – atau setidaknya potensi – untuk melakukan penetrasi ke dalam pribadi manusia dalam teater – yang menjadi penggerak tubuh teater – lalu mengombang-ambingnya ke dalam ketidakjelasan eksistensi, ke dalam penjara.
Lihatlah misalnya dalam lintasan sejarah teater tradisional, di mana kita mengenal jenis teater keraton/istana yang merupakan tanda kekuatan patronase penguasa terhadap dunia teater – dan seni pada umumnya. Jakob Sumardjo (1992) mencatat bahwa seniman yang terpilih dalam menggerakkan jenis teater tersebut diangkat sebagai pegawai atau aparat berjenjang kepangkatan, dan merupakan pelengkap istana yang di antaranya melaksanakan tugas-tugas yang menyangkut kebesaran atau kemuliaan raja. Konon mereka adalah para seniman “profesional”, yang tentunya memiliki kualitas kesenimanan yang tinggi. Dengan demikian, dapat dirunut dengan logika (logika kekuasaan!) jika dikatakan pada akhirnya seni teater istana melahirkan pembakuan-pembakuan, konvensi-konvensi, yang menjadi standar pokok mutu teater ketika itu. Dan biasanya (atau tentunya?), semua adalah dalam rangka menyenangkan hati raja; menyesuaikan dengan selera raja; mendukung kebijakan raja; dan lain sebagainya, yang menunjukkan sokongan terhadap keagungan kuasa raja.
Demikianlah narasi sejarah kekuasaan (baca: kekuasaan raja) melakukan legitimasi suatu bentuk teater dengan meminjam wadah-kosong, pribadi manusia, dalam tubuh teater. Disadari atau tidak, pribadi itu – yang sebenarnya memiliki otentisitas; dan lebih penting lagi, memiliki hasrat pencarian diri – telah diarahkan pada suatu pilihan tertentu: pilihan sebagai alat pengagung-agungan raja. Maka teater bukanlah diri pribadi seniman itu. Teater adalah diri sang raja.
Lalu di mana tempat bagi otentisitas pribadi sang seniman? Arah mana yang bisa ditelusuri oleh hasrat pencarian dirinya? Adakah sang seniman telah menemukan isi bagi wadah-kosongnya, dalam teater istana? Berpuaskah ia dengan pangkat, fasilitas, bahkan istri, yang diimbalkan oleh istana?
Saya tidak hendak memungkiri sejarah yang mengatakan bahwa istana, selain sebagai pusat pemerintahan, adalah juga pusat kebudayaan. Juga terhadap narasi yang mengatakan bahwa seni istana adalah seni tingkat tinggi, yang telah mencapai puncak-puncaknya sehingga sulit dikembangkan lagi, yang “adiluhung”.
Namun, marilah tengok narasi-narasi kecil, narasi-narasi personalitas, di balik narasi besar sejarah. Sejarah yang terus berjalan dan berulang. Dan lihatlah di zaman kita sekarang, juga beberapa dasawarsa lalu, penguasa sebagai penjelmaan arus politik dominan juga menunjukkan taringnya dalam bentuk penetrasi ke dalam pribadi-pribadi manusia, pribadi-pribadi masyarakat. Arus politik dominan juga, menurut Radhar Panca Dahana (2001), mendapatkan kolaboratornya pada atribut-atribut produk globalisasi seperti hiburan, barang konsumtif, dan lainnya, guna mendesak hingga ke tingkat pribadi masyarakat untuk berpaling pada satu pilihan tertentu, baik dalam cara pikir maupun cara hidup.
Ini ironis! Suasana penetrasi yang memaksa, merepresi, pribadi untuk mengisi wadah-kosong mereka dengan diri-diri yang ditawarkan penetrator-penetrator itu. Implikasinya di sini, menurut Radhar, di antaranya adalah kebebasan pribadi manusia yang dilenyapkan. Ini artinya otentisitas, eksistensi, pribadi manusia itu disingkirkan begitu saja. Ia diganti dengan eksistensi-eksistensi-lain.
Pribadi-pribadi masyarakat di antaranya adalah para insan perteateran. Lihatlah desakan-desakan itu terjadi ketika bagaimana Rendra dilarang pentas hingga menjelang akhir tahun 1977. Demikian pula dengan nasib beberapa pementasan Teater Koma di bawah N. Riantiarno. Dan banyak lagi daftar – yang barangkali tidak seterang kedua kasus itu – yang menjadi indikasi dibredelnya ruang-ruang untuk pengaktualisasian diri, ditolaknya eksistensi pribadi manusia dalam teater.
Suasana serupa yang terkini di antaranya tampak ketika kekuatan penguasa menjelma dalam institusi-institusi akademik yang menyelenggarakan program studi seni teater. Senjata ampuh yang bernama kurikulum melakukan penetrasi terhadap pribadi mahasiswa (baca: manusia-kosong-yang-masih-hijau) yang dengan semangat pencarian yang tinggi – atau sekadar coba-coba atau bahkan pelarian – untuk menemukan dirinya sendiri dalam teater. Mahasiswa diberikan pengajaran (dicekoki?) tertib teater ini-itu oleh kurikulum. Kurikulum yang sebenarnya tidak menyediakan ruang-ruang penjelajahan yang cukup untuk mengenali (apalagi memahami!) tertib-tertib tersebut.
Kekhawatiran muncul ketika kondisi kurikulum yang demikian lalu memaksa pribadi mahasiswa untuk bermain hanya di bawah lingkupan tertib-tertib itu. Ini artinya, mahasiswa mesti mengaktualisasikan dirinya dengan tidak keluar atau melabrak tertib-tertib yang ditentukan.
Saya tidak hendak mengatakan bahwa pengajaran tertib-tertib tersebut salah atau jelek. Secara ideal, mahasiswa memang harus mengenali dan memahami tertib-tertib itu, lalu dipakai jika memang pas benar dengan wadah-kosong yang dimiliki. Jika tidak pas, dihentikan saja pada posisi sebagai kekayaan cakrawala pengetahuan, lalu cari yang lebih pas. Namun, jika kekhawatiran di atas yang terjadi, maka represi terhadap pribadi mahasiswalah yang tumbuh.
Represi semacam ini, menurut pengamatan saya, menyodok ke dalam ruang psikologi pribadi mahasiswa, sehingga menciptakan ketakutan untuk bergerak mencari diri, bahkan hanya dalam tertib-tertib itu. Apalagi ini dikaitkan dengan rasa keterbatasan mahasiswa, rasa kemasih-hijauannya. Dan, ketika jalan keluar dari ketakutan itu tidak ditemukan, maka kegamangan serta rasa ketersekapanlah yang kemudian menyerangnya.
Demikianlah, alih-alih mencari diri sendiri, malah terpenjara!
* * *
Pribadi-pribadi manusia yang telah menemukan dirinya dalam teater modern (sebutan “modern” sekadar pembeda dengan teater tradisional kita) dengan berbagai cara ungkap (baca: cara penemuan diri) telah menjadi semacam teladan bagi generasi berikutnya. Sebutlah misalnya Stanislavsky, Brook, Brecht, Grotovsky, Artaud, dan lainnya. Di Indonesia misalnya ada Rendra, Putu Wijaya, Arifin C Noer, dan sebagainya. Kepada kita, mereka telah menunjukkan kisah cara penemuan diri mereka dalam teater – yang semuanya terwujud dalam konsep, aliran, paham, gaya, atau apalah namanya. Semua telah menjadi kekayaan dan milik sah teater modern. Banyak dari mereka yang menemukan eksistensi diri mereka dengan “memberontak” dari penemuan-penemuan, diri-diri, yang telah ada dan mapan sebelumnya. Tentunya, suatu pemberontakan didasarkan pada rasa ingin lepas – sekecil apapun – dari hal yang diberontak. Dari penjara yang tak memberi kebebasan.
Namun demikian, temuan-temuan mereka, hasil-hasil pemberontakan mereka, belum tentu merupakan bentuk yang juga membebaskan bagi generasi selanjutnya. Ia bisa saja menjadi penjara bagi generasi selanjutnya, sebagaimana mereka dulu merasakan demikian pada temuan yang mereka berontak. Maka, Brecht adalah penjara bagi kita jika wadah-kosong kita tidak pas dengan konsep alienasi. Stanislavsky adalah penjara jika konsep pelatihan keaktorannya tidak sesuai dengan pencarian kita. Demikian pula dengan “teror mental” atau “bertolak dari yang ada”-nya Putu Wijaya. Pun yang lainnya.
Ada lagi misalnya masalah teater realisme, yang sampai sekarang masih menyisakan perdebatan panjang. Ketika kita di Indonesia mempermasalahkan realisme Barat dan Timur, ketika kita dikatakan tidak memiliki konsep dan bentuk teater realisme yang – secara pola sosial, budaya, pikir, dan sebagainya – benar-benar realisme Indonesia, seperti apakah cara penemuan diri kita, para insan teater Indonesia, yang bergerak pada tataran realisme? Benarkah diri itu telah ditemukan di sana? Tidakkah itu hanya bermain-main saja – yang berarti bermain-main dalam penjara?
Ditambah lagi dengan masalah naskah-naskah lakon Indonesia, yang digolongkan dalam realisme, lebih banyak hadir dari sekian dasawarsa yang lalu, lebih merupakan masa lalu. Masihkah ia mencerminkan realitas aktual dan kontekstual kehidupan kita, jika dimainkan di zaman sekarang tanpa adanya usaha pengadaptasian? Demikian pula dengan naskah terjemahan yang nota bene datang dari realitas hidup orang nun jauh di sana. Seorang Tennesse Williams konon pernah menyatakan bahwa dia tidak merekomendasikan naskah-naskahnya untuk dipentaskan di luar negerinya karena memang tidak akan aktual dan kontekstual. Nah, lalu, adakah naskah baru, yang dapat digolongkan dalam realisme, yang mampu mengakomodir realitas aktual dan kontekstual kehidupan kita?
Jika ada dari kita yang benar-benar suntuk di tataran realisme, pasti akan merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Kalau pun masih merasa enjoy dengan keadaan seperti itu, barangkali karena melihat suatu celah untuk penemuan diri, semestinyalah dirumuskan secara jelas seperti apa penemuan itu. Semestinyalah ditentukan bagian mana dari diri-diri-lain yang cocok dengan wadah-kosong yang dimiliki, dan bagian mana yang mesti digali lagi. Ini penting agar tidak terjadi kegamangan dalam bergerak, agar tidak terjerumus dalam konsep “bermain-main dalam penjara”.
Selain memperhatikan konsep dalam, yaitu konsep kerja para pekerja teater, harus diperhatikan juga audiens yang nota bene menjadi bagian tak terpisahkan dari gerak perteateran Indonesia. Dengan kata lain, bukan hanya para insan pekerja teater yang mesti bebas dari penjara. Audiens juga. Putu Wijaya pernah mencatat: kenyataan yang sering dilupakan adalah bahwa sesungguhnya dalam teater tradisi yang tidak realis, masyarakat merasakan realita jati diri mereka. Jika benar demikian, maka tidak ada salahnya kita mengintip spirit teater tradisi dalam menjauhkan audiens dari penjara.
Demikianlah, sering tanpa kita sadari, penjara mengangakan pintunya dalam teater – atau malah kita sudah terkurung di dalamnya. Agaknya kita harus lebih hati-hati lagi menyikapi “kegagahan” kita dalam teater. Jika kita merasa tersiksa di dalamnya, dan kolaborasi antara pribadi dan teater tak mampu mengeluarkannya, saya kira bijak untuk mencari diri di luar teater. Masih banyak ruang.
Apa jadinya jika dalam dunia teater itu manusia-kosong tidak menemukan dirinya? Apa jadinya jika yang ditemukan adalah “diri-diri-lain” yang tidak sesuai dengan wadah-kosong yang dimilikinya? Bagaimana pula jika diri-diri-lain dipaksakan dengan represi untuk masuk ke dalam wadah-kosong miliknya itu? Jawabannya: tetap saja kekosongan itu yang ada! Manusia-kosong yang diisi dengan diri-lain adalah sama dengan kosong. Pribadi itu tetap saja gamang dalam kekosongan, tersiksa dalam jerat diri-lain. Sebab kekosongan adalah penjara belaka.
Maka, teater adalah penjara!
* * *
Diri-diri-lain adalah mereka yang datang dari luar, juga dari dalam, tubuh teater. Dari luar, kekuatan-kekuatan sosial-politik menjelma diri-diri-lain, menjadi semacam virus, mengaduk-aduk tubuh teater, termasuk manusia-kosong di dalamnya – bahkan mungkin yang telah berisi sekali pun. Demikian pula diri-diri, organ-organ, yang telah menjadi “milik sah”, menjadi bagian, dari tubuh kompleks teater. Tanpa disadari, banyak dari mereka yang menciptakan suasana mencekam, ketersekapan, bagi pribadi manusia lainnya dalam teater. Mereka memiliki kekuatan – atau setidaknya potensi – untuk melakukan penetrasi ke dalam pribadi manusia dalam teater – yang menjadi penggerak tubuh teater – lalu mengombang-ambingnya ke dalam ketidakjelasan eksistensi, ke dalam penjara.
Lihatlah misalnya dalam lintasan sejarah teater tradisional, di mana kita mengenal jenis teater keraton/istana yang merupakan tanda kekuatan patronase penguasa terhadap dunia teater – dan seni pada umumnya. Jakob Sumardjo (1992) mencatat bahwa seniman yang terpilih dalam menggerakkan jenis teater tersebut diangkat sebagai pegawai atau aparat berjenjang kepangkatan, dan merupakan pelengkap istana yang di antaranya melaksanakan tugas-tugas yang menyangkut kebesaran atau kemuliaan raja. Konon mereka adalah para seniman “profesional”, yang tentunya memiliki kualitas kesenimanan yang tinggi. Dengan demikian, dapat dirunut dengan logika (logika kekuasaan!) jika dikatakan pada akhirnya seni teater istana melahirkan pembakuan-pembakuan, konvensi-konvensi, yang menjadi standar pokok mutu teater ketika itu. Dan biasanya (atau tentunya?), semua adalah dalam rangka menyenangkan hati raja; menyesuaikan dengan selera raja; mendukung kebijakan raja; dan lain sebagainya, yang menunjukkan sokongan terhadap keagungan kuasa raja.
Demikianlah narasi sejarah kekuasaan (baca: kekuasaan raja) melakukan legitimasi suatu bentuk teater dengan meminjam wadah-kosong, pribadi manusia, dalam tubuh teater. Disadari atau tidak, pribadi itu – yang sebenarnya memiliki otentisitas; dan lebih penting lagi, memiliki hasrat pencarian diri – telah diarahkan pada suatu pilihan tertentu: pilihan sebagai alat pengagung-agungan raja. Maka teater bukanlah diri pribadi seniman itu. Teater adalah diri sang raja.
Lalu di mana tempat bagi otentisitas pribadi sang seniman? Arah mana yang bisa ditelusuri oleh hasrat pencarian dirinya? Adakah sang seniman telah menemukan isi bagi wadah-kosongnya, dalam teater istana? Berpuaskah ia dengan pangkat, fasilitas, bahkan istri, yang diimbalkan oleh istana?
Saya tidak hendak memungkiri sejarah yang mengatakan bahwa istana, selain sebagai pusat pemerintahan, adalah juga pusat kebudayaan. Juga terhadap narasi yang mengatakan bahwa seni istana adalah seni tingkat tinggi, yang telah mencapai puncak-puncaknya sehingga sulit dikembangkan lagi, yang “adiluhung”.
Namun, marilah tengok narasi-narasi kecil, narasi-narasi personalitas, di balik narasi besar sejarah. Sejarah yang terus berjalan dan berulang. Dan lihatlah di zaman kita sekarang, juga beberapa dasawarsa lalu, penguasa sebagai penjelmaan arus politik dominan juga menunjukkan taringnya dalam bentuk penetrasi ke dalam pribadi-pribadi manusia, pribadi-pribadi masyarakat. Arus politik dominan juga, menurut Radhar Panca Dahana (2001), mendapatkan kolaboratornya pada atribut-atribut produk globalisasi seperti hiburan, barang konsumtif, dan lainnya, guna mendesak hingga ke tingkat pribadi masyarakat untuk berpaling pada satu pilihan tertentu, baik dalam cara pikir maupun cara hidup.
Ini ironis! Suasana penetrasi yang memaksa, merepresi, pribadi untuk mengisi wadah-kosong mereka dengan diri-diri yang ditawarkan penetrator-penetrator itu. Implikasinya di sini, menurut Radhar, di antaranya adalah kebebasan pribadi manusia yang dilenyapkan. Ini artinya otentisitas, eksistensi, pribadi manusia itu disingkirkan begitu saja. Ia diganti dengan eksistensi-eksistensi-lain.
Pribadi-pribadi masyarakat di antaranya adalah para insan perteateran. Lihatlah desakan-desakan itu terjadi ketika bagaimana Rendra dilarang pentas hingga menjelang akhir tahun 1977. Demikian pula dengan nasib beberapa pementasan Teater Koma di bawah N. Riantiarno. Dan banyak lagi daftar – yang barangkali tidak seterang kedua kasus itu – yang menjadi indikasi dibredelnya ruang-ruang untuk pengaktualisasian diri, ditolaknya eksistensi pribadi manusia dalam teater.
Suasana serupa yang terkini di antaranya tampak ketika kekuatan penguasa menjelma dalam institusi-institusi akademik yang menyelenggarakan program studi seni teater. Senjata ampuh yang bernama kurikulum melakukan penetrasi terhadap pribadi mahasiswa (baca: manusia-kosong-yang-masih-hijau) yang dengan semangat pencarian yang tinggi – atau sekadar coba-coba atau bahkan pelarian – untuk menemukan dirinya sendiri dalam teater. Mahasiswa diberikan pengajaran (dicekoki?) tertib teater ini-itu oleh kurikulum. Kurikulum yang sebenarnya tidak menyediakan ruang-ruang penjelajahan yang cukup untuk mengenali (apalagi memahami!) tertib-tertib tersebut.
Kekhawatiran muncul ketika kondisi kurikulum yang demikian lalu memaksa pribadi mahasiswa untuk bermain hanya di bawah lingkupan tertib-tertib itu. Ini artinya, mahasiswa mesti mengaktualisasikan dirinya dengan tidak keluar atau melabrak tertib-tertib yang ditentukan.
Saya tidak hendak mengatakan bahwa pengajaran tertib-tertib tersebut salah atau jelek. Secara ideal, mahasiswa memang harus mengenali dan memahami tertib-tertib itu, lalu dipakai jika memang pas benar dengan wadah-kosong yang dimiliki. Jika tidak pas, dihentikan saja pada posisi sebagai kekayaan cakrawala pengetahuan, lalu cari yang lebih pas. Namun, jika kekhawatiran di atas yang terjadi, maka represi terhadap pribadi mahasiswalah yang tumbuh.
Represi semacam ini, menurut pengamatan saya, menyodok ke dalam ruang psikologi pribadi mahasiswa, sehingga menciptakan ketakutan untuk bergerak mencari diri, bahkan hanya dalam tertib-tertib itu. Apalagi ini dikaitkan dengan rasa keterbatasan mahasiswa, rasa kemasih-hijauannya. Dan, ketika jalan keluar dari ketakutan itu tidak ditemukan, maka kegamangan serta rasa ketersekapanlah yang kemudian menyerangnya.
Demikianlah, alih-alih mencari diri sendiri, malah terpenjara!
* * *
Pribadi-pribadi manusia yang telah menemukan dirinya dalam teater modern (sebutan “modern” sekadar pembeda dengan teater tradisional kita) dengan berbagai cara ungkap (baca: cara penemuan diri) telah menjadi semacam teladan bagi generasi berikutnya. Sebutlah misalnya Stanislavsky, Brook, Brecht, Grotovsky, Artaud, dan lainnya. Di Indonesia misalnya ada Rendra, Putu Wijaya, Arifin C Noer, dan sebagainya. Kepada kita, mereka telah menunjukkan kisah cara penemuan diri mereka dalam teater – yang semuanya terwujud dalam konsep, aliran, paham, gaya, atau apalah namanya. Semua telah menjadi kekayaan dan milik sah teater modern. Banyak dari mereka yang menemukan eksistensi diri mereka dengan “memberontak” dari penemuan-penemuan, diri-diri, yang telah ada dan mapan sebelumnya. Tentunya, suatu pemberontakan didasarkan pada rasa ingin lepas – sekecil apapun – dari hal yang diberontak. Dari penjara yang tak memberi kebebasan.
Namun demikian, temuan-temuan mereka, hasil-hasil pemberontakan mereka, belum tentu merupakan bentuk yang juga membebaskan bagi generasi selanjutnya. Ia bisa saja menjadi penjara bagi generasi selanjutnya, sebagaimana mereka dulu merasakan demikian pada temuan yang mereka berontak. Maka, Brecht adalah penjara bagi kita jika wadah-kosong kita tidak pas dengan konsep alienasi. Stanislavsky adalah penjara jika konsep pelatihan keaktorannya tidak sesuai dengan pencarian kita. Demikian pula dengan “teror mental” atau “bertolak dari yang ada”-nya Putu Wijaya. Pun yang lainnya.
Ada lagi misalnya masalah teater realisme, yang sampai sekarang masih menyisakan perdebatan panjang. Ketika kita di Indonesia mempermasalahkan realisme Barat dan Timur, ketika kita dikatakan tidak memiliki konsep dan bentuk teater realisme yang – secara pola sosial, budaya, pikir, dan sebagainya – benar-benar realisme Indonesia, seperti apakah cara penemuan diri kita, para insan teater Indonesia, yang bergerak pada tataran realisme? Benarkah diri itu telah ditemukan di sana? Tidakkah itu hanya bermain-main saja – yang berarti bermain-main dalam penjara?
Ditambah lagi dengan masalah naskah-naskah lakon Indonesia, yang digolongkan dalam realisme, lebih banyak hadir dari sekian dasawarsa yang lalu, lebih merupakan masa lalu. Masihkah ia mencerminkan realitas aktual dan kontekstual kehidupan kita, jika dimainkan di zaman sekarang tanpa adanya usaha pengadaptasian? Demikian pula dengan naskah terjemahan yang nota bene datang dari realitas hidup orang nun jauh di sana. Seorang Tennesse Williams konon pernah menyatakan bahwa dia tidak merekomendasikan naskah-naskahnya untuk dipentaskan di luar negerinya karena memang tidak akan aktual dan kontekstual. Nah, lalu, adakah naskah baru, yang dapat digolongkan dalam realisme, yang mampu mengakomodir realitas aktual dan kontekstual kehidupan kita?
Jika ada dari kita yang benar-benar suntuk di tataran realisme, pasti akan merasa terganggu dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Kalau pun masih merasa enjoy dengan keadaan seperti itu, barangkali karena melihat suatu celah untuk penemuan diri, semestinyalah dirumuskan secara jelas seperti apa penemuan itu. Semestinyalah ditentukan bagian mana dari diri-diri-lain yang cocok dengan wadah-kosong yang dimiliki, dan bagian mana yang mesti digali lagi. Ini penting agar tidak terjadi kegamangan dalam bergerak, agar tidak terjerumus dalam konsep “bermain-main dalam penjara”.
Selain memperhatikan konsep dalam, yaitu konsep kerja para pekerja teater, harus diperhatikan juga audiens yang nota bene menjadi bagian tak terpisahkan dari gerak perteateran Indonesia. Dengan kata lain, bukan hanya para insan pekerja teater yang mesti bebas dari penjara. Audiens juga. Putu Wijaya pernah mencatat: kenyataan yang sering dilupakan adalah bahwa sesungguhnya dalam teater tradisi yang tidak realis, masyarakat merasakan realita jati diri mereka. Jika benar demikian, maka tidak ada salahnya kita mengintip spirit teater tradisi dalam menjauhkan audiens dari penjara.
Demikianlah, sering tanpa kita sadari, penjara mengangakan pintunya dalam teater – atau malah kita sudah terkurung di dalamnya. Agaknya kita harus lebih hati-hati lagi menyikapi “kegagahan” kita dalam teater. Jika kita merasa tersiksa di dalamnya, dan kolaborasi antara pribadi dan teater tak mampu mengeluarkannya, saya kira bijak untuk mencari diri di luar teater. Masih banyak ruang.
FOTO: Pementasan Bali Eksperimental Teater, "SITUS" karya Nanoq da Kansas, di Taman Budaya Nusa Tenggara Barat, Mataram 1996